Menilik Perubahan UU No. 5 tahun 1967 Menjadi UU No. 41 tahun 1999

 

Vegetasi di TNGM

  Mengapa UU No. 5 tahun 1967 diganti menjadi UU No. 41 tahun 1999??

Pada dasarnya Indonesia memiliki hutan alam tropika basah di luar Jawa yang sangat luas dan mempunyai potensi ekonomi tinggi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu lalu disusun Undang-undang kehutanan untuk mengatur pengusahaan hutan di luar Jawa, yang dikenal dengan UU No.5 tahun 1967. Acuan yang tersedia bagi pengambil keputusan di bidang kehutanan pada waktu itu tentu saja hanya Undang-undang Kehutanan untuk Jawa & Madura. Sesuai dengan perkembangan ilmu kehutanan, hutan alam jati di Jawa yang rusak akibat praktek penambangan kayu, khususnya oleh VOC selama dua abad, lalu dibangun dengan model Jerman. Bentuk pengelolaan hutan model Jerman itu dikenal dengan kebun kayu (timber management), dan pemerintah Hindia Belanda dengan sukses dapat membangun hutan tanaman jati Monokultur. Pengelolaan kebun kayu jati itulah yang dituangkan di dalam Undang-undang Kehutanan Jawa & Madura tahun 1927.

Oleh karena itu UU No 5. Tahun 1967 mempunyai dua kelemahan, yaitu hutan yang dihadapi di luar Jawa bukan kebun kayu monokultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berbeda dengan keadaan di Jawa dan Madura awal abad ke-20 ini. Karena adanya dua kelemahan itu maka lahirlah undang-undang yang baru, dikenal sebagai Undang-Undang No.41 tahun 1999 (Simon, 2000).

  


Perbedaan konten/isi di UU No. 5 tahun 1967 dan UU No. 41 tahun 1999

  • Istilah "masyarakat setempat" dalam Undang-Undang No.41/1999 disebut dan tercantum dalam 17 pasal dan 5 diantaranya penyebutannya tercantum dalam penjelasan pasal. Jumlah tersebut berbeda jauh jika dibandingkan dengan UU No.5/1967 yang hanya mencantumkan dalam 2 pasal yaitu Pasal 6 c dan Pasal 9 ayat (2) d.
  • UU No.41/1999 membuka kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat setempat untuk melakukan usaha pemanfaatan hutan dengan persyaratan tertentu seperti memperoleh ijin usaha pemanfaatan hutan dan jika ingin lebih terorganisir usahanya dapat diwadahi dalam koperasi. Andaikata mereka tidak mengajukan permohonan dan memiliki ijin usaha pemanfaatan hutan sendiripun, mereka berhak meminta dan menerima kerjasama usaha dengan Perusahaan Swasta atau BUMN/D yang sudah mempunyai ijin usaha. Pasal 30 UU No.41/1999 dengan jelas mewajibkan kepada BUMN/D dan Swasta untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Sedangkan UU No.5/1967 yang lebih menempatkan sumber daya hutan sebagai sarana pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal serta kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di dalam maupun sekitar hutan. Orientasi demikian dapat dicermati dari ketentuan : (1). Pasal 6 b UU No.5/1967 bahwa pemanfaatan hasil hutan dan pemasarannya diarahkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat pada umumnya dan khususnya guna memenuhi kepentingan pembangunan, industri, dan ekspor; (2). Pasal 6 c yang menghendaki agar masyarakat setempat tetap dapat mencari nafkah dari hutan yang dalam realitanya justru selama ini terabaikan.
  • UU No.41/1999 memberikan hak memperoleh kompensasi atas hilangnya akses mendapatkan lapangan kerja dengan memanfaatkan hutan (Pasal 68 ayat 3) atau hilangnya hak atas tanah (Pasal 68 ayat 4) yang disebabkan adanya penetapan kawasan hutan (merubah status dan fungsi hutan).  Jaminan perlindungan terhadap hak mendapatkan pekerjaan dan pendapatan dari hutan serta hak atas tanah di kawasan hutan tidak dijumpai dalam UU No.5/1967. Bentuk kompensasi yang dapat diberikan atas hilangnya akses mendapatkan pekerjaan dan pendapatan dari hutan berupa : mata pencaharian baru dan kesempatan untuk terlibat dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. Penjelasan Pasal 68 ayat (3) UU No.41/1999 menyatakan bahwa Pemerintah mengupayakan kompensasi yang memadai antara lain seperti tersebut di atas. Sementara untuk kompensasi atas hilangnya hak atas tanah hanya dinyatakan dalam Pasal 68 ayat (4) harus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud tentunya menunjuk pada ketentuan pengadaan tanah yang diatur dalam Keppres No.55/1993.
  •  UU No.41/1999 memberi hak bagi kelompok masyarakat yang merasakan langsung dampak dari kerusakan hutan untuk mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap pihak penyebabnya.  Gugatan perwakilan dapat diajukan dengan syarat :

·   Terjadinya kerusakan hutan yang mendatangkan kerugian bagi kehidupan masyarakat setempat (Pasal 71 ayat 1);

·  Kerusakan hutan terjadi karena tidak dipatuhinya ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 71 ayat 2) (Simon, 2000). 

 

 

 

 

Simon, Hasanu. 2000. Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan. Jurnal PSDA. Vol.1: 1 – 42.

 

 

Komentar

Postingan Populer