WANAGAMA : Membangun Optimisme Ekonomi dan Pangan Pada Masyarakat Sekitar Hutan Gunung Kidul

 

Sumber : kagama.co (Gerbang masuk Wanagama)

Hutan Wanagama I di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta ditujukan sebagai hutan penelitian dan pendidikan yang multifungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain sebagai area konservasi sumber daya genetik, lokasi uji genetik spesies-spesies Hutan Tanaman Industri (HTI), daerah tujuan wisata biologi dan ecotourism, tempat studi banding bidang konservasi tanah dan air, serta pusat studi ekosistem kehutanan. Selain itu, terdapat berbagai bentuk aktivitas pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan oleh warga (Suwarni dan Santoso, 2009).

Wanagama memiliki jejak perjalanan yang panjang hingga dapat menjadi hutan penelitian dan pendidikan. Hal ini diperkuat oleh Johanna (2016) yang memaparkan sejarah panjang bahwa setelah Indonesia merdeka, wilayah kolonial Belanda diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Kawasan hutan Gunung Sewu masuk dalam wilayah kewenangan Jawatan Kehutanan. Sebagian besar wilayah Gunung Sewu berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunung Kidul. Penanaman pohon jati dan pohon mahoni kembali dilakukan di daerah Gunung Kidul oleh Jawatan Kehutanan pada tahun 1950-1952. Namun, setelah enam tahun, hutan tanaman jati ternyata gagal sedangkan pohon-pohon mahoni yang mulai tumbuh besar banyak dicuri masyarakat setempat. Hutan di Gunung Kidul menjadi sasaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pakan ternak dicari di dalam hutan, bukan hanya dengan mengarit rumput dan semak di lantai hutan namun masyarakat juga memangkas daun-daun pepohonan. Pohon-pohon hutan ditebang untuk kayu bakar bukan hanya untuk kepentingan sendiri tapi juga untuk dijual. Masyarakat Gunung Kidul sekaligus mengambil kayu hutan untuk bangunan rumah dan kandang ternak. Sementara itu, masyarakat enggan menanam pohon karena lahan dibutuhkan untuk menanam bahan makanan.

Penghasilan masyarakat Gunung Kidul hanya dari bercocok tanam ubi kayu (Manihot utilissima). Sayangnya, tanaman ubi kayu tumbuh merana karena tanah Gunung Kidul sangat kurus akibat erosi yang berkepanjangan. Tidak ada usaha untuk membuat teras-teras, sepanjang lereng gunung untuk menahan erosi tanah karena kebanyakan badan masyarakat sangat lemah akibat menderita penyakit busung lapar dan kurangnya pengetahuan. Jawatan Kehutanan menanami lahan kembali dengan sistem tumpang sari setiap kali hutan sudah kosong ditebangi masyarakat. Masyarakat diizinkan menanam tanaman palawija di sela-sela tanaman pokok hutan selama masa kontrak. Akan tetapi, setelah pohon tumbuh besar, hutan kembali menjadi sasaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pohon-pohon ditebang lagi untuk dijual kayunya. Akibatnya, hutan Gunung Kidul tidak pernah terbentuk dan lestari. Persepsi masyarakat sekitar Gunung Kidul masih menganggap bahwa hutan adalah bentang alam yang dikuasai negara, bukan sebagai bentang alam yang perlu dirawat bersama-sama. Masyarakat memang seringkali tidak dilibatkan sebagai pelaku, hanya sebatas objek atau penonton. Dengan begitu masyarakat merasa tidak bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian hutan.

Melihat fenomena yang terjadi, masyarakat kawasan Gunung Kidul memerlukan pendekatan sosial ekonomis, selain pendekatan teknik ilmu kehutanan (teknik silvikultur). Perlu diingat pula bahwa dulu Kesultanan Yogyakarta memiliki kearifan lokal Wonokerto Mangkunegaran. Kearifan lokal ini adalah prinsip melestarikan hutan dimana masyarakat yang tinggal di sekitar hutan turut menjaga, melindungi, dan memperoleh manfaat dari hutan. Kearifan Wonokerto Mangkunegaran ini ingin diterapkan kembali dalam mengelola kawasan hutan Gunung Kidul. Oleh karena itu, ketika Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada memperoleh hak pakai lahan kiritis Petak 5 di Gunung Kidul, rimbawan perintis Wanagama memikirkan akses masyarakat sekitar Wanagama jika hutan dibangun kembali. Rimbawan perintis Wanagama adalah Soedjarwo, Soedarwono, Darmakoem Darmakoesoemo, Pardiyan, R.I.S Pramoedibjo, Oemi Hani’in, Soekotjo, dan Tri Setiyo. Para perintis Wanagama memulai langkah menghijaukan lahan kritis Wanagama dengan menerapkan pendekatan sosial ekonomi, teknik ilmu kehutanan, dan sifat biologis vegetasi. Faktor manusia, iklim, tanah, vegetasi, geologi dan morfologi lahan kritis Wanagama diamati untuk menentukan langkah-langkah awal menghijaukan kembali Wanagama.

Menilik ke belakang, sejarah panjang kemiskinan pada dasarnya menjadi faktor utama yang menghambat proses penghijauan lahan kritis di Gunung Kidul, dalam menghijaukan kembali lahan kritis para perintis Wanagama melibatkan masyarakat dalam proses menghijaukan kembali lahan kritis Wanagama, dengan memberi manfaat langsung dalam waktu yang singkat. Salah satu caranya adalah melibatkan masyarakat dalam pembuatan terasering, jalan, bangunan, dan saluran air, dengan imbalan uang lelah yang layak dan diberikan tepat waktu. Di masa paceklik, masyarakat sekitar Wanagama mendapat upah dari mengumpulkan biji-biji lamtoro (Leucaena leucocephala) di lahan kritis Wanagama. Bagi masyarakat yang kekurangan lahan untuk menanam tanaman pakan ternak, ditanam rumput pakan ternak jenis kolonjono (Brachiaria mutica) di sela-sela tanaman pohon. Masyarakat diijinkan mengambil rumput kolonjono dan dedaunan di lahan Wanagama dengan imbal balik ke Wanagama berupa pupuk kandang. Pupuk kandang tersebut selanjutnya digunakan untuk memupuk persemaian di lahan Wanagama. Para perintis Wanagama juga menanami jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan padi gogo di sela-sela tanaman pohon di lahan Wanagama. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, perintis Wanagama membangun bak penampung di mata air yang tersedia di lahan kritis Wanagama. Petugas lapangan dan masyarakat sekitar Wanagama memperoleh air bersih dari bak air tersebut.

Berbagai pengamatan dan penelitian dilakukan agar dapat menentukan langkah perbaikan lahan yang tepat. Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada diarahkan melakukan penelitian yang terkait dengan usaha menghijaukan lahan kritis Wanagama. Mereka diberi tugas mengelola dan tinggal di Wanagama. Mereka berusaha menciptakan hubungan bertetangga yang harmonis serta penuh gotong royong. Bahkan, Bupati Gunung Kidul pada masa itu, Darmakoem Darmakoesoemo, keluar masuk desa yang terpencil, untuk mengingatkan dan membangun motivasi masyarakat Gunung Kidul tentang pentingnya menanam hutan dan tidak menganggu hutan. Peran Darmakoem sangat besar dalam proses menghijaukan kembali Wanagama dan Gunung Kidul.

Seiring berjalannya waktu keberhasilan langkah-langkah rimbawan untuk menumbuhkan tanaman kembali di lahan kritis Wanagama ditiru masyarakat Gunung Kidul untuk memperbaiki lahan kritis di sekitar mereka. Masyarakat minta diajari menanam pohon di pekarangannya. Misalnya, cara menanam tanaman lamtoro sebagai tanaman pagar, atau menanam pohon jati di dekat rumah. Petugas Wanagama mengajari masyarakat memotong akar horisontal (akar lateral) agar pertumbuhan pohon tidak mengganggu pondasi rumah. Dalam waktu singkat, lamtoro menjadi tanaman pagar pekarangan masyarakat di sekitar Wanagama pada tahun 1977. Pohon-pohon jati dan mahoni tumbuh di pekarangan masyarakat, bahkan tumbuh sangat berdekatan dengan rumah masyarakat, tanpa masyarakat khawatir pondasi rumahnya rusak. Hubungan baik di bidang sosial ekonomi ini, mampu menghindarkan gangguan terhadap hutan yang sedang dibangun kembali.

Permasalahan pangan dan kemiskinan yang menjadi salah satu faktor degradasi, kerusakan, dan terhambatnya penghijauan hutan berbanding terbalik dengan Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris. Sebaliknya pemenuhan kebutuhan pangan masih belum tercukupi. Di sisi lain program ketahanan pangan masih bertumpu pada lahan sawah di pulau Jawa. Oleh sebab itu perlu digalakkan pemanfaatan hutan untuk mendukung sistem pertanian terpadu dengan tetap mempertahankan kondisi dan fungsi ekologi hutan. Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan, Kehutanan merupakan salah satu sektor yang ikut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Saat ini peningkatan kawasan hutan untuk penyediaan dan pengembangan terus digencarkan sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab Kehutanan dalam menunjang ketahanan pangan.

Tergeraknya masyarakat untuk menghijaukan lahan kritis di sekitar mereka menjadi cikal bakal hutan rakyat di sekitar Wanagama menjadi berkembang. Puspitojati (2014) mengatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan tanaman yang tumbuh di lahan milik rakyat. Hutan rakyat ialah hutan yang terdapat di atas tanah  yang  dibebani  hak atas tanah seperti hak  milik,  hak  guna  usaha dan  hak pakai (Undang  undang  RI  No.41,  1999). Mengelola hutan rakyat  ialah suatu bentuk pemanfaatan lahan yang optimal pada suatu tapak  (Andayani,  2003). Pada daerah-daerah di mana hutan rakyat berkembang, salah satu faktor yang mendukung tingginya minat masyarakat mengembangkan hutan rakyat adalah berkaitan dengan jaminan atau kepastian atas pemanfaatan hasil hutan. Pemilik lahan juga memiliki kebebasan untuk menentukan jenis dan pola tanam sesuai kebutuhannya (Suprapto, 2010). Hutan rakyat dibangun melalui berbagai bentuk, baik dengan instruksi presiden, subsidi, sistem kredit usaha hutan rakyat dalam bentuk kemitraan maupun swadaya masyarakat (Widiarti dan Prajadinata, 2008)

Kebijakan pengelolaan hutan akan berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah, seperti penurunan kesuburan tanah. Usaha-usaha pertanian tradisional yang dilakukan dengan mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian kerap menjadi penyebab terjadinya lahan kritis sebagaimana yang terjadi di daerah Gunung Kidul. Di Indonesia praktek-praktek usaha tani dan pemanfaatan lahan yang tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta praktek perladangan berpindah menyebabkan timbulnya lahan kritis, erosi, bencana kekeringan, serta penurunan kualitas dan kuantitas hasil pertanian (Bukhari dan Febryano G.I 2008). Untuk mengatasi permasalahan ekonomi sekaligus ekologi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekitar Wanagama saat itu, maka diterapkanlah agroforestry yang memadukan keunggulan dari sektor pertanian yang unggul dalam perekonomian dan pangan serta keunggulan sektor kehutanan dalam jasa lingkungannya. Penerapan agroforestry merupakan salah satu sistem pengolahan lahan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan dan sekaligus untuk mengatasi masalah pangan. Menurut Suryani dan Dariah (2012) dalam bahasa Indonesia Agroforestry dikenal sebagai Wanatani. Konsep Agroforestry dirintis pertama kali oleh Canadian International Development Centre, yaitu lembaga yang bertugas mengidentifikasi prioritas pembangunan bidang kehutanan di negara-negara berkembang pada tahun 1970-an. Hasil identifikasi menunjukkan hutan-hutan di negara berkembang belum dimanfaatkan secara optimal. Di pihak lain ditemukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengrusakan lingkungan. Kegiatan tersebut perlu dicegah melalui pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif, sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan dan sandang bagi manusia.

Vegara (1982) mendefinisikan Agroforestry sebagai sistem pemanfaatan lahan berkelanjutan yang dapat memelihara atau meningkatkan total hasil dengan mengkombinasikan tanaman pangan (annual) dengan tanaman pohon-pohonan (perennial) dan atau ternak dalam suatu unit lahan, baik dalam kurun waktu yang bersamaan atau berbeda dengan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosiokultural, kondisi ekonomi dan lahan. Satjapradja (1981) mengemukakan agroforestry adalah suatu metode penggunaan lahan secara optimal yang mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis berotasi pendek dan panjang berdasarkan asas kelestarian secara bersamaan atau berurutan di dalam atau di luar kawasan hutan dengan tujuan mencapai kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Nair (1989) menyatakan bahwa agroforestry adalah nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan, dimana tanaman berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan dengan tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan  di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai  komponen yang bersangkutan. Young (1989) mengatakan agroforestry merupakan system multifungsi lanskap yaitu sebagai sumber pendapatan petani, perlindungan tanah dan air di sekitarnya.

Secara fisik agroforestry mempunyai susunan kanopi tajuk yang berjenjang (kompleks) dengan karakteristik dan kedalaman perakaran yang beragam pula, sehingga agroforestry merupakan teknik yang bisa ditawarkan untuk beradaptasi karena mempunyai daya sangga (buffer) terhadap efek perubahan iklim antara lain pengendalian iklim mikro, mengurangi terjadinya longsor (Hairiah et al., 2006), limpasan permukaan dan erosi serta mengurangi kehilangan hara lewat pencucian (Widianto et al., 2007; Suprayogo et al., 2002), dan mempertahankan biodiversitas flora dan fauna tanah (Dewi et al., 2006).

Menurut de Foresta dan Michon (1997) agroforestry terdiri menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana (konvensional) dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan dikombinasikan dengan satu atau beberapa tanaman semusim. Sementara sistem agroforestry kompleks merupakan suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak pohon yang sengaja ditanam atau tumbuh dengan alami, Ciri utama dari agroforestry kompleks adalah kenampakan fisik serta dinamika di dalamnya yang serupa dengan ekosistem hutan alami. Penyebaran berbagai komponen, khususnya komponen kehutanan dan pertanian, dalam suatu sistem agroforestry dapat secara horizontal (bidang datar) ataupun vertikal. Penyebaran tersebut juga dapat bersifat merata atau tidak merata (Combe dan Budowski, 1979). Butarbutar (2009) mengemukakan bahwa ada tiga model agroforestry yang kerap digunakan. Sylvofisheri yaitu seperti empang parit yang banyak dikembangkan pada daerah pantai bermangrove di Indonesia. Sylvopasture berupa perpaduan kehutanan dan peternakan, serta tumpangsari yaitu budidaya komoditas pertanian di kawasan hutan.

Agroforestry memerlukan pemilihan jenis yang sesuai serta perlakuan silvikultur yang tepat. Pengaturan untuk menjaga cahaya, air dan nutrisi yang optimum bagi masing-masing jenis penyusun merupakan kunci keberhasilan dari sistem agroforestry. (Hani, A dan Suryanto P, 2014). Hal ini juga diperkuat oleh Simon (1995) bahwa tanaman yang akan diusahakan harus dirancang sejak awal dan dalam memilih jenis harus dipenuhi beberapa hal agar jenis yang diusahakan mendapat hasil yang optimal, yaitu di antaranya harus memenuhi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.

Dituturkan oleh Pujowati dkk (2010) bahwa adanya interaksi positif yang terjadi antara berbagai komponen penyusun agroforestry menyebabkan tidak hanya faktor biologi fisik saja, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya, serta kebijakan turut memegang peranan penting dalam mempengaruhi tindakan tindakan manusia dalam mengelola suatu lanskap agroforestry. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang telah lama dikembangkan masyarakat. Menurut Nair (1993) kebun campuran yang umumnya dikembangkan dalam bentuk agroforestry dipandang mempunyai kemampuan dalam memenuhi fungsi ekologi, ekonomi, dan sosio kultural masyarakat.

Orientasi produksi agroforestry dapat dibedakan menjadi subsisten dan komersial. petani kecil kecil biasanya berorientasi pada subsisten, artinya kegiatan ekonominya diprioritaskan terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga (konsumsi), bukan untuk dijual atau meningkatkan modal melalui investasi ulang (reinvestation). Sedangkan petani besar yang mengusahakan tanaman perdagangan cenderung berorientasi komersial. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Regine dan Staiss (2019), di beberapa daerah seperti Kabupaten Malinau (Kalimantan Utara) dan Kabupaten Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) masyarakat masih kurang memepertimbangkan aspek ekologi. Dengan berbagai manfaat yang ada pada penerapan sistem agroforestry terdapat beberapa lingkup masyarakat yang tidak memilih agroforestry karena dianggap lebih rendah dari segi profitabilitasnya dibandingkan dengan tanaman komersial monokultur seperti kelapa sawit. Penguasaan lahan memegang peran penting dalam pelaksanaan agroforestry. Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka  motivasi untuk mempraktikkan agroforestry menjadi sangat rendah, mengingat sistem agroforestry merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian pengusahaan lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen. Gauthier (2000) menjelaskan bahwa ketidakpastian penguasaan lahan menyebabkan masyarakat atau petani enggan untuk menginvestasikan waktu dan energi dalam usaha konservasi tanah.

Salah satu faktor secara makro ekonomi lahan pertanian dinilai rendah adalah karakteristik komoditi pertanian dalam struktur pasar yang bersifat homogen dan masal (Hilmanto, 2012) Dengan diterapkannya Agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pertanian dan kehutanan dengan waktu panen yang beragam di hutan rakyat sekitar Wanagama maka komoditi pertanian menjadi variatif dan dapat memproduksi pangan secara berkesinambungan. Kontinyuitas pendapatan dimana tanaman semusim dan perkebunan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan pendapatan dari kayu selain bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya temporal seperti kebutuhan anak sekolah, hajatan, membangun rumah, dan kebutuhan mendesak lainnya. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani (masyarakat) meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman dan pemeliharaan, sedangkan kegiatan pemanenan rata-rata dilakukan oleh pedagang pengumpul (bandar). Pola tanam kebun campuran memberikan penghasilan bersifat rutin, harian, mingguan, bulanan, musiman, dan tahunan bagi masyarakat sekitar Wanagama. Sebagai contoh daun melinjo, emponempon, pisang diperoleh hasil secara harian atau mingguan. Buah-buahan, umbi-umbian, kacang, dsb. secara musiman, dan hasil dari kayu bersifat tahunan sehingga tumpangsari memberikan hasil secara berkelanjutan bagi petani dan prospektif.

Konsep pertanian berkelanjutan adalah integrasi dari tiga tujuan utama, yaitu: 1) kesehatan lingkungan, 2) keuntungan ekonomi, dan 3) keadilan sosial ekonomi (Vegara, 1982). Keberlanjutan sistem penggunaan lahan tergantung pada fleksibilitas penggunaan lahan tersebut dalam lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas penggunaan lahan tersebut (Reijntjes, 1999). Dengan demikian agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan yang mendukung pertanian berkelanjutan, karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservatif terhadap lingkungan dan keadaan sosial, sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan lebih tinggi (FAO, 1989). 

Untuk peningkatan produktivitas kebun campuran diperlukan penataan teknik budidaya  pola tanam agroforestry untuk menjaga keserasian pertumbuhan tanaman dengan penataan jarak dan jalur untuk pertumbuhan yang optimal masing-masing tanaman yang diusahakan, yaitu dengan memperhatikan sifat fisiologis pohon, tajuk, dan perakaran.  Dari sisi agribisnis hutan rakyat pola kebun campuran memiliki beberapa keuntungan karena memungkinkan pemanfaatan sepenuhnya tapak lahan, terutama pencampuran jenis toleran dan intoleran, daur pendek dan panjang, jenis kayu dan non kayu akan  memberikan  penghasilan yang berkelanjutan bagi petani dengan adanya diversifikasi hasil dan berkurangnya resiko penurunan produktivitas akibat salah satu tanaman terkena serangan hama dan penyakit.  Manan (1997) mengemukakan bahwa dari segi lingkungan atau ekologi, hutan campuran lebih baik daripada hutan murni karena mempunyai daya tahan tinggi terhadap serangan hama dan penyakit. Agroforestry sebagai suatu sistem produksi tentunya memberikan pendapatan terhadap pengelolanya baik langsung maupun tidak langsung. Analisis ekonomi yang banyak dilakukan di Indonesia adalah melihat seberapa besar suatu sistem agroforestry memberikan kontribusi terhadap pendapatan total keluarga dan juga bagaimana kontribusi hasil dari suatu sistem agroforestry terhadap perekonomian daerah setempat.

Sumbangan hutan rakyat dalam menopang lingkungan lokal dimana hutan rakyat itu berada tidak diragukan lagi. Beberapa studi dan survei menunjukkan bagaimana hutan rakyat berkontribusi dalam memperbaiki lingkungan yang semula kritis dan tandus kini menjadi kawasan yang hijau dan subur. Seorang ilmuwan terkemuka juga pernah mengatakan bahwa terhindarnya pulau jawa dari bencana ekologi seperti banjir dan kekeringan bukan karena keberhasilan pengelolaan hutan Negara tetapi justru karena kearifan masyarakat membangun hutan rakyat dilahan miliknya. Hutan rakyat terbukti mampu mendukung perekonomian pedesaan dan dapat dijadikan sebagai kunci penyelemat ekonomi masyarakat pada saat krisis sekalipun. Hal ini didukung oleh pola agroforestry yang memungkinkan adanya bermacam hasil selain hasil kayu. Hutan rakyat juga dapat dimaknai sebagai bentuk tabungan selain ternak. Walaupun pada awalnya berupa program pemerintah, pengembangan hutan rakyat dipengaruhi oleh kesungguhan masyarakat untuk merehabilitasi lingkungan dan lahan pertanian miliknya.

Komentar

Postingan Populer