LAPORAN PRAKTIKUM PERMUDAAN HUTAN SECARA BUATAN

 

Dokumentasi pribadi (potret permudaan buatan tegakan jati di Wanagama)

A.    PENDAHULUAN

I.                   Latar Belakang

Didalam ilmu kehutanan dikenal dua jenis metoda permudaan yaitu permudaan alam (natural regeneration) dan permudaan puatan (artificial regeneration). Permudaan buatan merupakan istilah dalam bidang kehutanan yang analog dengan reboisasi. Permudaan buatan bertujuan untuk mengadakan penanaman pada bekas areal atau kawasan tegakan yang telah hilang atau mengalami kerusakan. Permudaan buatan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara langsung dengan penanaman buah dan penanaman melalui persemaian bibit.

Permudaan buatan dengan penyemaian di persemaian dilakukan dengan cara bibit tanaman dipelihara di persemaian sebelum dilakukan penanaman. Bibit dari hutan alam dapat digunakan sebagai sumber bibit tetapi sebelum penanaman dipelihara di persemaian terlebih dahulu. Pada permudaan buatan biasanya jenisnya sudah ditetapkan sesuai dengan tujuan pengelolaan, umumnya sejenis, seumur, jaraknya teratur serta telah dirancang berbagai tindakan silvikulturnya.

II.                Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mempelajari metode permudaan hutan dengan cara buatan (artificial regeneration) dan faktor yang berpengaruh pada permudaan tersebut.

   

III.             Manfaat

Manfaat dari praktikum ini yaitu mahasiswa dapat mengetahui metode permudaan hutan dengan cara buatan serta factor-faktor yang berpengaruh pada permudaan tersebut.

 

B.     TINJAUAN PUSTAKA

Sistem silvikultur mencakup tiga fungsi atau perlakuan dasar, yaitu: permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting). Aplikasi aktual dari semua jenis perlakuan, urutan, tata-waktu kegiatan serta intensitasnya berbeda dari satu tegakan hutan ke tegakan lainnya, tergantung dari tujuan pemilik dan kondisi ekologisnya (Panjaitan dkk., 2013).

Suatu wilayah hutan akan dikatakan cukup permudaan apabila telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan, adapun ketetapan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan tahun 1989 adalah: tingkat semai minimal 1000 batang/ha, tingkat pancang minimal 240 batang/ha, tingkat tiang minimal 75 batang/ha, dan tingkat pohon 25 batang/ha (Setiawan dkk., 2018).

Sistem silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada hutan rakyat yang sudah dikelola dengan baik. Petani mempunyai lahan yang cukup luas dan modal yang cukup. Sistem seperti ini dilaksanakan pada hutan rakyat murni. Akan tetapi, sistem ini masih jarang ditemui di lapangan. Sedangkan untuk sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan dilakukan dengan memilih pohon-pohon yang akan ditebang sesuai keperluannya. Permudaan dilakukan dengan menanami kembali bekas tebangan tersebut dngan bibit atau anakan yang telah dipersiapkan seblumnya (Wahyuningtyas, 2010).

Permudaan merupakan suatu proses peremajaan kembali dari pohon-pohon penyusun tegakan yang telah mati secara alami atau karena dipanen manusia. Dalam permudaan hutan dikenal dua metode, yaitu permudaan alam (natural regeneration) dan permudaan buatan (artificial regeneration). Permudaan alam & permudaan buatan bisa dibedakan jenis dan keanekaragaman, struktur tajuk, umur penyusun tegakan, metode tebangan, jangka waktu (daur), luasan kawasan dibatasi oleh alam (kecuali yang sudah ditata), variasi produk hutan, resistensi terhadap serangan hama dan penyakit, kesuburan tanah, kerusakan karena angin dan bencana alam lainnya, biaya dan pengelolaan yang lebih sulit (Suryo, 2005).

Pelaksanaan permudaan ini bisa dilaksanakan dengan dua metode yaitu berdasarkan pengupahannya dan berdasarkan teknik kulturnya. Metode pertanaman hutan berdasarkan cara pengupahan dapat dibedakan borongan dan bayar harian pada cemplongan, tumpangsari, komplangan. Metode pertanaman berdasarkan kulturnya dibedakan menjadi cemplongan , tugal, dan jalur penyekat (Daniel dan Baker,1992).

 

C.    METODE

C.1. Waktu dan Tempat

                 Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 2019 pukul 07.00 WIB di Pantai Samas, Bantul.

C.2. Alat dan Bahan

Ø  Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain: tali/meteran, pitameter/diameter tape, hagameter dan kompas.

 

 

 

Ø  Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain: tanaman jati dengan metode cemplongan dan tumpangsari di Petak 13 Wanagama.

C.3. Cara Kerja

1.      Diamati tegakan yang ada di Wanagama I Gunungkidul dengan cara membuat dua petak ukur dengan ukuran 20 m x 25 m pada tanaman muda jati (satu PU pada tanaman dengan metode cemplongan dan PU yang lain pada metode tumpangsari).

2.      Dihitung % jadi tanaman tersebut.

3.      Diamati berapa jarak tanamnya.

4.      Diukur DBH (Diameter Breast Height) dan tinggi tanaman jati tersebut.

5.      Diamati kesehatan tanaman tersebut.

6.      Dicari data lingkungan pendukung (curah hujan, suhu dan kelembaban udara) selama lima tahun terakhir dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

 

    DAFTAR PUSTAKA

Daniel, John, dan Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvikultur.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Panjaitan, Sudin dkk,. 2013. Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap Peningkatan Produktivitas Dan Kelestarian Hutan Alam Produksi. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol. 7 No. 2. Hal. 109-122.

Setiawan, David Agus dkk,. 2018. Potensi Tegakan Hutan Tembawang Di Desa Sehe Lusur Kecamatan Kuala Behe Kabupaten Landak. Jurnal Hutan Lestari. Vol. 6 No. 1. Hal. 56-61.

Suryo, S. 2005. Prinsip-Prinsip Silvikultur. IPB. Bogor.

Wahyuningtyas, Reni Setyo. 2010. Hutan Rakyat Trubusan Sebagai Alternatif Sistem Permudaan. Galam. Vol. 4 No. 3. Hal. 189-207

 

Komentar

Postingan Populer